Senin, 14 Januari 2008

Jalan Revolusi

JALAN REVOLUSI
Oleh: Deman Huri
Amien Rais, mantan ketua MPR RI periode 1999-2004, pernah mengatakan bahwa supermasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia sepertinya masih gelap1 . Ungkapan in bisa jadi, adalah ungkapan pesimistis, frustasi bahkan bernada kecewa seorang yang katanya bapak reformasi, terhadap kondisi Indonesia saat ini.
Reformasi berjalan tidak seperti yang diharapkan oleh masyarakat, perubahan tidak terjadi secara signifikan, bahkan tradisi-tradisi yang pernah dilakukan oleh orde lama dan orde baru masih melekat dalam bangsa ini, seperti tradisi feodalisme, imperialisme, bahkan megalitik masih terjadi dan menghambat perubahan di negeri ini. Implikasi dari tradisi-tradisi tersebut berdampak pada bernegara ataupun bermasyarakat yang sangat signifikan menghambat pembangunan peradaban di negeri ini. KKN, penindasan, pelanggaran HAM, pembodohan yang dilakukan oleh penguasa, merupakan konsekuensi dari tradisi imperialisme, feodalisme dan megalitik yang masih ada dalam tubuh bangsa ini.
Sebenarnya ide-ide membangun perubahan negeri sudah dimulai sejak berdirinya berbagai organisasi nasional, baik yang humanis maupun yang radikal melalui pemberontakan. Seperti yang dilakukan oleh Serikat Dagang Islam (SDI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia, Darul Islam (DI) dan lain-lain.
Namun tokoh-tokoh nasional yang pernah memimpin pergerakan tersebut, belum mampu membuat dasar-dasar negara yang kuat. Sehingga, setiap pergantian pimpinan Negara selalu berawal dari gejolak sosial, dan meninggalkan beban bagi anak bangsa berikutnya, karena perubahan bersifat setengah hati. Tak pelak, bangsa ini menjadi bangsa yang goyah, seperti sebuah pohon besar yang tidak punya akar lagi, dan tinggal menunggu robohnya. Atau mungkin sebagian sudah roboh.
Agar perubahan dapat tercapai sesuai cita-cita, maka tak ada jalan lain, tradisi lama yang membelenggu kita harus ditinggalkan secara revolusioner, sebagaimana pernah dilakukan oleh negara-negara besar di dunia ini. Di Eropa kemajuan yang dirasakan pada saat ini tidak lain dimulai dari revolusi industri, Rusia dengan revolusi ploretariatnya, Cina dengan revolusi budaya, dan Iran dengam revolusi Islam. Diakui atau tidak, kini mereka sudah merasakan perubahan yang signifikan secara revolusioner yang terjadi di negerinya.
Berbicara revolusi, di Indonesia sebenarnya pernah digaungkan bahkan dilaksanakan oleh tokoh-tokoh nasional pada masa lalu, seperti Tan Malaka, Soekarno, S.M. Kartosuwiryo dan tokoh lainya. Namun selalu digagalkan oleh imperialisme Belanda dan kaum borjuis oportunis anti perubahan.
Ya memang berbicara revolusi tak semudah kita mengucapkan, karena sebuah perubahan dalam bentuk apapun dan di mana pun sangat sulit dilakukan, karena diperlukan pengorbanan yang besar. Apa lagi mengubah sesuatu yang sudah membudaya dan berdarah daging.
Revolusi sendiri berarti suatu pergantian tatanan sosial. Revolusi mentransfer kekuasaan dari tangan-tangan kelas yang kehabisan tenaganya kepada kelas-kelas lain yang berada di kekuasaan lain2. I Jeffre M Paige berpendapat revolusi adalah transformasi mendasar dan cepat dalam kategori kesadaran dan kehidupan sosial, dalam asumsi metafisik di mana kategori-kategori tersebut bersandar dan dalam relasi kekuasaan di mana mereka diekspresikan sebagai hasil dari meluasnya penerimaan masyarakat atas alternative utofis sosial3.
Di Indonesia tatanan sosial yang mesti direvolusi adalah tradisi-tradisi lama yang menghambat terjadinya perubahan di negeri ini harus ditinggalkan secara revolusioner. Tradisi ini sendiri walaupun Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad, tapi masih tampak dilakukan oleh rakyat Indonesia, sehingga kemerdekaan sejati yang dicita-citakan masih belum tercapai.
Tan Malaka telah menggaungkan pikiran cerdasnya, bahwa Indonesia dapat mencapai cita-citanya menjadi masyarakat terbebas dari imperialisme dan feodalistik dengan revolusi total di segala dimensi kehidupan : “Masalah ada pada sistem yang dipaksakan bukan pada pribadi-pribadi yang ada di dalam sistem. Kapitalisme, imperialisme adalah sistem yang mendorong orang pada kecenderungan untuk serakah dan menyebabkan penghisapan manusia oleh manusia, sistem feodalis juga memiliki esensi yang sama yakni dominasi manusia terhadap manusia, Indonesia mengasingkan mereka bila berhasil memusnahkan sistem ini, cara terbaik diperlukan revolusi total menuju Indonesia baru yang dicita-citakan”4.
Sangat sulit sekali Indonesia akan mengalami perubahan secara total tanpa melalui perjuangan secara revolusioner. Bangsa ini tetap akan berjalan statis di tempat dan selalu akan menjadi budak bangsa lain walaupun dalam dimensi imperialisme dan tradisi feodalistik gaya baru.
Samakah revolusi dengan kekerasan...?
Salah satu yang jadi penghambat ketika orang berbicara revolusi adalah kebanyakan orang beranggapan “kekerasan”. Orang terjebak pada wacana-wacana yang salah bahwa “revolusi akan menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan perang saudara”.
Kalangan opurtunis anti perubahan sengaja mengembuskan ini, sehingga sampai sekarang masih melekat di sebagian besar penduduk negeri ini, bahkan tokoh intelektual dan pimpinan nasional pada zaman reformasi. “Apabila terjadi revolusi akan terjadi tumpah darah,” kata mereka.
Sesungguhnya kekerasan yang terjadi pada revolusi bukan kekerasan seperti yang dilakukan oleh para bandit, yang membabi buta tanpa tujuan, tetapi pada hakikatnya kekerasan yang akan terjadi pada negara adalah kekuatan yang berdiri di atas masyarakat dan yang semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat. Maka jelaslah bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa5.
Untuk melawan rezim penguasa yang telah menutup seluruh kran politik, perubahan untuk melawan rezim tersebut bukan hanya dengan diplomasi dan mobilisasi massa, tetapi pada tahapan tertentu kekerasan dapat dilakukan dan dihalalkan, bahkan pemberontakan senjata. Tetapi sangat perlu diingat, tidak semua jalan menuju revolusi mendahulukan kekerasan, yang jelas jangan terjebak oleh jargon-jargon kalangan anti perubahan terutama kalangan borjuis opurtunis.
Tan Malaka-Amien Rais yang jaraknya 79 tahun, sama-sama menggaungkan adanya perubahan di Indonesia. Namun Tan Malaka belum mampu mewujudkan revolusinya, karena harus lari dari negara satu ke negara lain menghindari kejaran agen Belanda, Amerika dan Perancis sehingga ide-ide revolusinya di Indonesia tidak dapat diwujudkan hingga ia meninggal di depan moncong senjata.
Sementara itu, Amien Rais dengan ide reformasinya, kecewa dengan perubahan yang terjadi di negerinya, tidak lain, karena (kegagalannya) dalam meletakkan dasar-dasar perubahan negeri ini tidak secara revolusioner, sehingga negara ini hanyalah sebuah mainan borjuis, oportunis, dan imperialis bergaya baru anti perubahan.
Kartosuwiryo pejuang revolusi Islam Indonesia pernah berkata, “Tiap kali revolusi nasional hendak menggelora dan hendak ‘menjapoe’ sampah-sampah masyarakat, tiap kali itu dihambat, dihalangi, dan dirintangi oleh berbagai ranjau dan penghalang Belanda penjajah baik jang ada dalam toeboenya pemerintah Belanda sendiri maupun jang soedah masoek meresap dalam darah dan djantoengnya pemerintah Indonesia”7.
Pertanyaan apakah di era modern ini akan terjadi sebuah revolusi? Ya, mungkin saja. Revolusi bisa terjadi dimana-mana dan pada zaman apapun, termasuk saat ini, di mana-mana ketimpangan sosial terjadi disegala dimensi kehidupan. Apalagi hegemoni negara-negara besar terhadap negara-negara lain sangat kuat.
Indonesia, misalnya seolah mati kutu, karena ketergantungan ekonomi dan keamanannya terhadap negara besar semisal Amerika. Demikian pula adanya kenyataan, sangat sulitnya Indonesia melepaskan diri dari lilitan utang lembaga keuangan internasional dan hegemoni negara besar. Salah satu jalan untuk melepaskan diri dari hegemoni itu adalah dengan jalan revolusi.
Dalam arti, proses revolusi di Indonesia mesti berbeda dengan revolusi yang terjadi di berbagai negara di dunia, seperti Cina, Rusia, Prancis, Iran dan Quba. Sejarah membuktikan gerakan-gerakan revolusioner yang pernah ada di Indonesia gagal karena mengadopsi mentah-mentah proses terjadinya revolusi yang terjadi di negara yang pernah mengalami perubahan secra revolusioner.

Kekuatan revolusioner
Revolusi yang pernah ada di Indonesia bukan dimulai oleh kalangan ploretariat ataupun kaum tani, tetapi dimulai oleh kalangan intelaktual dan militer. Namun selam ini kalangan intelektual yang mengusung gerakan revolusioner, telah memisahkan gerakannya dari kekuatannya rakyat, sehingga kurang mendapat dukungan rakyat. Hal ini disebabkan kalangan intelektual tidak mampu mentransformasikan ide-ide perubahan tata sosial dan tidak mempunyai basis yang kuat dari rakyat.
Kekuatan rakyat merupakan modal utama untuk membangun gerakan revolusioner, karena seluruh sistem sudah sangat hegemonik sulit sekali dikendalikan oleh negara yang korup dan kekuatan imperialisme asing (imperialisme ekonomi) tanpa dukungan gerakan rakyat yang massif mustahil perubahan revolusioner di negeri ini dapat tercapai.
“Gerakan kaum revolusioner, harus bekerja sama dengan kaum-kaum profesional, mendesak kaum muda untuk mengikuti salah satu karier yang lebih penting dalam upaya memberikan ilmu pengetahuan, untuk membangun sebuah antusiasme ideologis. “Kegagalan Rusia dalam mempertahankan revolusinya, adalah memisahkan gerakan intelektual dan teknis. Oleh sebab itu sebuah gerakan revolusioner harus masif di segala sendi kehidupan bangsa ini.”
Dalam membangun kekuatan revolusioner bukan hanya dapat dilakukan dengan perjuangan kelas saja, seperti yang pernah dilakukan oleh Lenin dan penganut pahan marxisme klasik lainya, karena paradigma zaman yang telah berubah dari relasi-relasi sosial menjadi relasi ekonomi.
Perubahan sosial yang sangat fundamental di segala sektor kehidupan manusia ini dapat dijadikan spirit terjadinya sebuah perubahan revolusi. Karena apabila tidak dapat mengikuti perubahan secara revolusioner, maka negara tersebut tidak akan mengalami perubahan dan kemajuan peradaban yang signifikan.
Ketika beberapa ahli ilmu pengetahuan di Eropa menemukan mesin-mesin industri baru, beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Ingris mengimbangi dengan penemuan di bidang ilmu pengetahuan, sehingga terjadi revolusi di segala segi kehidupan.

Revolusi Indonesia
Perubahan global yang sangat cepat di dunia ini serta kehancuran negeri ini harus menjadi modal untuk membangun gerakan revolusioner Indonesia. Pasalnya, apabila bangsa Indonesia masih terbelenggu oleh prilaku imperialisme, feodalisme bahkan megalitik, jangan harap akan mampu mengikuti perubahan global zaman. Indonesia diprediksi akan selalu menjadi bangsa yang tertinggal.
Gerakan revolusioner di Indonesia harus dilakukan melalui berbagai dimensi kehidupan, karena semua kekuatan lama telah merasuk ke segala dimensi kehidupan ini, seperti sistem, struktur dan perilaku sosial.
Revolusi fundamental perlu dilakukan segera, karena relasi-relasi sosial di Indonesia sudah tidak lagi membawa negeri ini ke masa depan yang lebih baik, seperti yang kita rasakan sekarang. Indonesia adalah negara besar yang harus bangkit untuk meningkatkan martabatnya dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainya di dunia. Hanya dengan jalan revolusi kita dapat mencapai cita-cita sejati bangsa. Sudah saatnya kita semua meninggalkan tradisi-tradisi lama yang menghambat perubahan.

Medio 2003

Catatan Kaki:
Kompas, 25 Mei 2003, Reformasi Tanpa Cetak Biru, hal:27
Len Trosky, 2004, Mempertahankan Revolusi Rusia.
Jeffre Peigie, 2004, Menemukan Kaum Revolusioner: Konsep Ilmu Sosial dan Masa Depan Revolusi, Insist Press.
Tan Malaka, 2003, Perjuangan Revolusioner Sejati Hal:75
Lenin, 2004,”Negara dan Revolusi” Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-tugas ploretariat dalam revolusi.
Al-Chaidar, Pemikir Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S M. Kartosuwiryo.
Che Guevara, 1962, Kader: Tulang Punggung Gerakan Revolusi.

Tidak ada komentar: