Senin, 14 Januari 2008

Kok Masih Terjadi

SETENGAH ABAD TANPA PERUBAHAN
Oleh : Deman Huri Gustira.

Lihat dan dengarlah
Tangisan rakyat
Hidupnya sengsara
Hidupnya melarat
Membutuhkan beras si rakyat harus mengantri
Membutuhkan minyak si rakyat harus mengantri

Bait-bait syair itu sengaja ditulis oleh seorang pejuang kemerdekaan yang bernama Rd. Akis Kartadinata. Pada saat itu kita masih dalam kungkungan penjajahan fasis Jepang. Dia mencoba mendokumentasikan keadaan bangsa Indonesia pada saat itu dengan syair, pada saat zaman penjajahan Jepang rakyat untuk mendapatkan beras dan minyak tanah harus berbaris mengantri.
Setelah lepas dari penjajah, ternyata keadaan tersebut masih terjadi dan belum ada perubahan. Rakyat untuk mendapatkan beras saja harus mengantri (berbaris) dan dijatah oleh negara yang disebut beras miskin (Raskin) juga untuk mendapatkan minyak tanah rakyat juga harus mengantri seperti yang kita rasakan akhir-akhir ini.
Ternyata apa yang terjadi setengah abad lalu itu sampai sekarang masih ada kemiripan. Pada jaman penjajah, rakyat untuk mendapat beras dan minyak tanah harus dijaga oleh serdadu-serdadu Jepang dan antek-anteknya, nah kalau sekarang yang menjaga adalah anak bangsanya sendiri, yaitu serdadu-serdadu yang ada di republik ini.
Fenomena itu sekarang terjadi hampir di seluruh penjuru negeri ini. Pembaca bisa melihat di berita-berita baik koran maupun televisi ribuan masyarakat di republik ini harus berbaris untuk mendapatkan satu jerigen minyak tanah dan satu kilo beras.
Penulis teringat dengan pernyataan SBY pada sebuah media massa bahwa distribusi beras miskin 2007 harus dipercepat, karena beberapa daerah di Indonesia terancam bahaya kelaparan. Sangat aneh sekali di negara yang katanya subur dan kaya. Tetapi kok rakyatnya terancam bahaya kelaparan. Kalau zaman penjajah dulu kelaparan sebuah kewajaran terjadi karena bangsa ini hidup dalam penjajahan, tetapi sekarang tentu tidak.
Nah, kalau kita bandingkan pada hakekatnya keadaan sekarang dengan keadaan masa lalu, di mana rakyat untuk mendapatkan hak-hak pokok selalu dibatasi oleh negara, semestinya negara harus menjadi pelayan yang baik. Bukan menjajah hak-hak rakyatnya hal ini bermetamorfosis menjadi proses perbudakan masih kita rasakan sampai sekarang.
Sangat kontra produktif sekali dengan kebijakan negara saat ini, para pedagang kaki lima berdagang di mana-mana di penjuru negeri ini pinggir jalan dikejar-kejar oleh aparat keamanan seperti pencuri. Aksi ribuan buruh dan petani selalu diidentikkan dengan gerakan kiri radikal dan komunis padahal mereka hanya menuntut hak-hak mereka, ribuan TKI diusir dari tempat kerjanya bagaikan budak-budak belian. Seolah-olah tidak ada tempat lagi bagi orang-orang kecil untuk merdeka berdagang, merdeka dari penindasan dan merdeka dari kebodohan
Tetapi di lain pihak perusahaan multinasional berebut menanamkan modal di negeri ini, mal-mal berdiri megah di kota-kota besar. Di lain pihak para petani dan PKL hak-haknya dirampas oleh pemerintah demi untuk kepentingan orang-orang kaya. Mengapa ini bisa terjadi...?
Mantan Presiden Soekarno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi (1964) berkata, “Rakjat jang tidak merdeka adalah rakjat yang sesunguh-sungguhnja tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnja adalah tidak merdeka. Segala kemauanja, segala fikiranja, segala rohnja dan Njawanja adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa, mau ini ada ranjaunja, mau itu ada jurangnja. Mau nengeluarkan kritik ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa, mau menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis, mau menggerakkan kaum buruh, terancam artikel 161 bis, mau mengadakan aksi radikal, gampang ditjap berbahaya bagi keamanan umum, mau mengajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memandjukan sosial ada sjaratnja, pendek kata mau ini ada duri, mau itu ada duri.”
Dalam konteks ini kita sebagai negara yang merdeka, ternyata kemerdekaan dan kemakmuran direbut oleh kekuasaan. Penguasa membatasi kemerdekan yang dimiliki oleh rakyatnya, terutama bagi rakyat kaum pinggiran marhaen menurut Soekarno atau kaum Musta’afin kemerdekaanya untuk berdagang, mendapat pendidikan yang layak.
Apa yang dirasakan oleh rakyat di negeri ini adalah sebuah realita, karena sebuah realitas yang masyarakat rasakan sekarang, ada ketimpangan dalam pembangunan bahkan beberapa daerah di Kalbar pun belum mempunyai akses-akses jalan yang baik. Untuk usaha sulit karena dengan alasan demi kebersihan mereka dikejar-kejar oleh pihak keamanan, apakah ini yang disebut kemerdekaan?
Ini sangat tragis terjadi pada zaman seperti ini, masih ada rakyat yang takut berusaha, karena dikejar-kejar aparat keamanan, masih ada petani yang takut bertani karena tanahnya diklaim milik penguasa dan orang-orang kaya, masih ada rakyat yang hidup di pengungsian karena kehidupannya diancam oleh kelompok lain.
Di sisi lain kita masih menyaksikan di daerah lain masih ada provinsi yang menuntut untuk merdeka dari republik ini, seperti Papua dan riak-riak daerah lain pun akan dilakukan oleh provinsi lain, hal ini terjadi tidak terlepas karena negara telah merampas hak rakyat. Kemakmuran hanya dirasakan oleh penguasa dan orang-orang kaya.
Pada hakekatnya apa yang dicita-citakan bangsa belum dilaksanakan dengan baik oleh penguasa di Republik ini. Mengapa masih ada provinsi yang menuntut menjadi daerah khusus bahkan merdeka, apakah memang penguasa telah merebut hak-hak daerah tersebut secara paksa dan mereka membangun ketidakadillan, sehingga rakyatnya selalu dihantui kemiskinan.
Kemakmuran harus didasarkan pada hak-hak asasi rakyat untuk mengurus diri sendiri, tanpa ada tekanan dan ketakutan akan kehilangan hak tersebut atas tekanan orang lain, penguasa atau kelompok tertentu. Semua orang berhak untuk mendapatkan kemakmuran, kemakmuran bukan milik penguasa atau kelompok tertentu. Jangan sampai setengah abad negeri ini bebas dari penjajah.

Ptk, Agustus,2005

Tidak ada komentar: