Senin, 14 Januari 2008

QUO VADIS PENGELOLAAN HUTAN

KONFLIK PENGELOLAAN HUTAN
Deman Huri Gustira

Beberapa hari yang lalu Menteri kehutanan mengeluarkan kebijakan tentang pencabutan izin HPH yang masa berlakunya sudh habis di seluruh provinsi di Indonesia termasuk di Kalbar. Hal ini menyebab gerahnya pemerintah Daerah. Karena pemerintah daerah merasa di langkahi oleh Menhut, walaupun dengan berbagai alasan. Salah satunya alasanya adalah menipisnya pasokan kayu dari hutan Indonesia.
Keputusan tersebut membuat elemen pengusaha dan pemerintah daerah marah, alasannya karena otonomi daerah. Pusat tidak bisa campur tangan secara langsung dalam pengelolaan hutan di daearah. Alasanya sekarang sudah Otonomi daerah bukan zaman sentralistik lagi.
Dilain pihak pelaksaanaan otonomi daerahpun sedang menghadapi tantangan, karena menurut hasil survai Lembaga Survai Indonesia(LSI), bahwa pelaksanaan otonomi daerah gagal. Pemerintah Daerah tidak berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya dan memajukan pembangunan.
Sebenarnaya otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah harus menjadi sebuah harapan besar bagi pemerintah daerah (local goverment) dan masyarakat untuk membangun daerahnya secara leluasa dan mandiri. Yang tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dan tanpa intervensi langsung dari pemerintah pusat.
Dalam hal ini termasuk di dalamnya mengenai pengelolaan sumberdaya alam (natural resources) yang katanya bertujuan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera .Termasuk dalam pengelolan di sektor kehutanan. Sektor kehutanan sempat menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang paling besar. Sehingga ketika otonomi daerah mulai digulirkan, penggelolaan sumber daya hutan menjadi sumber konflik antara pusat dan daerah.
Walaupun perubahan atau pembenahan peraturan tersebut terus dilakukan, namun sangat disayangkan, perubahan kebijakan kehutanan Indonesia baik pusat ataupun daerah belum mampu membawa kemajuan yang signifikan terhadap keberadaan hutan.
Karena masih adanya benturan kewenangan (conflict of authority) antara kedua belah pihak yaitu antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat tidak mampu berbuat banyak terhadap pengelolaan hutan, sehinga tidak ada yang di untungkan dengan adanya konflik kebijakan dan kewenangan tersebut.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan SBY di bidang kehutanan saja tidak berjalan efektif, karena kontrol dari pemerintah pusat dalam beberapa hal termasuk illegal logging yang dikoordinator oleh Menkopolkam pun tidak berjalan dengan baik.
Banyak sekali kebijakan SBY yang tumpang tindih satu dengan lainya disektor kehutanan, misalnya Inpres no 4/2005 tentang mempercepat pemberantasan illegal logging. Namun dilain pihak pemerintahan SBY mengeluarkan Permenhut no 55/2006 tentang penata usahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara dan peraturan pemerintah no 6 tahun 2007, kesemuanya tidak ada kesingrongan. belum lagi dengan peraturan daerah(PERDA) lainya yang hanya berorientasi pada pada pasar.
Di peraturan tersebut SBY dengan Inpres no 4/2005 menuntut supaya pelaku illegal logging di tindak secara tegas dengan di komandoi secara langsung oleh menkopolkam. Sementara permenhut 55/2004 tentang penataan usahaan hasil hutan, dimana pada hakekatnya kepmenhut tersebut akan lebih mempercepat terjadi eksplotasi hutan dan mempermudah proses kayu illegal menjadi legal.
Nah, dari sini dapat kita lihat tumpang tindih kebijakan yang akhirnya menyebabkan kebingungan semua pihak. Peraturan mana yang harus dijadikan acuan. Ada kecenderungan masing-masing elemen termasuk Dishut menggunakan peraturan yang menurutnya menguntungkan bagi kepentingannya, yang akan mereka gunakan
Karena persepsi yang selalu berbeda antarapemerintah pusat, Dishut Provinsi dan pemda kabupaten maka terjadilah ketidak harmonisan di antara lembaga pemerintahan. Sehingga sistem pengelolaan hutan saat ini menjadi tidak teratur. Tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat, pemrop dan pemerintah kabupaten, masih terus berlangsung walaupun jalur penyelesaianya terus diupayakan.
Wewenang berdasarkan undang-undang (constitutional divicion of fower), tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena selain adanya benturan peraturan antara pemerintah pusat dan daerah baik pemerintah provinsi ataupun dengan kabupaten masih terjadi konflit otoritas (conflict authorithy) dan benturan antara instansi terkait.
Juga pengelolaan kekuasaan (power manajemen) yang masih berorientasi pada ekonomi, ikut memperburuk kebijakan kehutanan yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga terjadi perselingkuhan politik antara pasar dan pemerintah.
Pemerintah daerah berlomba-lomba menguras harta daerahnya disektor kehutanan, dalam rangka hanya untuk meningkatkan pendapat daerahnya (PAD) ataupun untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Diharapkan konflik kepentingan antara pemerintahan pusat dan daerah juga pengusaha bisa diselesaikan dengan baik. Permasalahan kalau ini terjadi berlarut-larut akan mempunyai dampak negatif yang signifikan dalam pengelolaan sumber daya Hutan yang masih tersisa di republik ini.
Karena kalau konflik kepentingan terus menerus-menerus ini terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan, jangan harap pengelolaan hutan secara lestari akan tercapai tetapi sebaliknya pengelolaan hutan akan makin suram karena pemerintah terjebak pada konflik kebijakan yang akhirnya menyebabkan terjadinya konflik kewenanangan dan kepentingan, sehingga menyebakan ketidak jelasan dalam sistem pengelolaannya.

Tidak ada komentar: