Senin, 14 Januari 2008

KRISIS AIR

Krisis Air
Oleh: Deman Huri Gustira

Setiap musim kemarau tiba, ada dua bencana besar yang dihadapi oleh Kalimantan Barat yaitu pertama, bencana kabut asap dan kedua, bencana kekeringan. Bencana kekeringan yang paling utama dihadapi oleh masyarakat Kalbar adalah kekurangan air.
Pada musim kemarau, untuk mendapatkan air saja masyarakat harus dijatah oleh perusahaan air minum (PDAM), sehingga sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan airnya dalam sehari-hari, mereka harus menggunakan mesin penyedot air agar mendapat air lebih, tak pelak lagi terjadi konflik kecil dengan tetangga yang tidak menggunakan mesin pompa air. Tetangga yang tidak menggunakan mesin pompa air tidak mendapatkan air.
Juga beberapa bulan yang lalu masyarakat kota Pontianak dihebohkan dengan tercemarnya air kapuas oleh limbah perusahaan air minum dan tercemarnya air kapuas oleh senyawa mercury.
Kalau melihat fenomena global, masalah krisis air bukan hanya terjadi di daerah ini, tetapi merupakan krisis dunia, Marg Deviller dalam bukunya Water Fate of Our Most Precious Resources: “Krisis air adalah kerusakan ekologis bumi yang paling menyebar, mengerikan dan paling sulit dilihat. Pada tahun 1998, 108 negara mengalami kekurangan air dan angka akan bertambah 56 negara pada tahun 2005.”
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya krisis air adalah distruction forest (penghancuran hutan) yang berlebihan. Karena hutan secara hidrologi adalah bendungan alami dimana dengan kanopi-kanopinya, hutan mampu menyimpan dan melepaskan air dan sungai-sungai kecil (DAS). Ketikan hutan mengalami kehancuran bumi tidak mampu lagi menampung air dan menyuplai air.
Di Kalimantan Barat ada delapan belas daerah aliran sungai. Merupakan daerah yang mempunyai fungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan dan alami. DAS tersebut tersebar di seluruh penjuru wilayah kalbar seperti: Das Air Besar, Ambaloh, Danau, Kapuas Hilir, Kepulauan Maya Karimata, Ketungau, Landak, Mandai, Melawi, Paloh, Pawan Hilir, Pawan Hulu, Pesaguan, Sambas, Sebangkau, Sekadau, Sekayam, Sepauk dan Simpang. Namun di sekitar daerah aliran sungai tersebut telah terjadi kerusakan hutan yang sangat parah, akibat berbagai aktivitas seperti illegal logging, peti dan konversi lahan menjadi perkebunan.
Walaupun, panjang sungai 1086 km, pada saat ini sungai kapuas tidak dapat menyediakan air dengan baik, yang hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kalbar yang berjumlah sekitar 4 juta orang.
Krisis air merupakan krisis ekologis dengan penyebab utama adalah komersialisasi, pembabatan hutan dan pertambangan telah menghancurkan kemampuan serap air yang dimiliki tanah untuk menyimpan air, pertanian dan hutan monokultur telah mengeringkan ekosistem, meningkatnya penggunaan bahan baku minyak telah menyebabkan polusi udara dan perubahan iklim dan menjadi penyebab utama terjadinya banjir, tsunami (cylone) dan kekeringan yang terus berulang (Vandhana Shiva, Water Wars).
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi krisis air di daerah ini. Pertama, reklamasi secepatnya sumber air yang telah tercemari oleh industri terutama di Daerah Aliran Sungai yang telah tercemar akibat pertambangan tanpa ijin. Dan aktivitas lainya, kita mengetahui bahwa hampir semua DAS di daerah ini telah tercemari oleh pertambangan emas, sehingga air raksa yang digunakan dalam pertambangan ini mencemari air dan mengancam kehidupan kita semua.
Kedua, menghentikan konversi lahan di sekitar Daerah Aliran Sungai untuk perkebunan yang bersifat monokultur dan industri lainya, karena ini akan mengurangi kualitas dan kuantitas air.
Ketiga, penghijauan kembali di daerah-daerah aliran sungai. Karena DAS merupakan daerah yang mempunyai kemampuan dalam menyimpan dan menyuplai sumber daya air. Selama ini program-program penghijauan tidak difokuskan di Daerah aliran sungai.
Keempat, membuat kebijakan bersama intansi terkait antara pemerintah kabupaten tentang pengelolaan air dan antar negara apa lagi Kalbar berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia. Sehingga ini akan menjadi kebijakan bersama anatara pemerintah kabupaten, antar dinas dan antar negara. Kebijakannya jangan bersifat sektoran karena itu akan menyebabkan konflik.
Kelima, menghentikan pertambangan emas, penebangan hutan dan pembangunan industri lainnya di sekitar Daerah Aliran Sungai, karena kalau ini dibiarkan terus menerus, PETI dan aktivitas industri lainya di Daerah Aliran Sungai dapat mengancam pencemaran air sungai terutama air raksa.
Sementara illegal logging dapat menyebabkan besar kecilnya debit air yang dihasilkan. Di kala musim kemarau debitnya mengecil dan di kala musim kemarau penghujan akan membesar sehingga dapat menyebabkan banjir bah. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia belum lama ini.
Moude Barlow dan Tony Clarke peneliti air dalam bukunya Blue Gold, untuk menyelamatkan sumber daya air kita yang kritis dan mencegah konflik yang lebih jauh. Ia mencatat ada sepuluh prinsif yang harus diperhatikan.
Pertama, air adalah milik bumi dan seluruh species; kedua, sedapat mungkin air harus berada ditempat asalnya; ketiga, air harus dikonversi setiap saat; keempat, air yang tercemar harus disehatkan kembali; kelima, air dapat dilindungi paling baik ketika apabila berada di daerah aliran yang alami; keenam, air adalah warisan publik, yang harus dijaga oleh seluruh tingkat pemerintahan; ketujuh, akses pada pasokan air bersih cukup adalah hak asasi seluruh warga negara; kedelapan, pembelaan air harus dilakukan oleh masyarakat dan warga negara setempat lebih baik; kesembilan, publik harus berpartisipasi dengan pemerintah untuk melindungi air; dan kesepuluh, kebijakan ekonomi tidak mendukung keberlanjutan air.
Krisis air merupakan krisis laten. Krisis ini dapat menjadi krisis politik dan kemanusiaan, seperti yang telah dirasakan oleh beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika yang terlebih dahulu mengalami krisis air. Sehingga menyebabkan perang saudara antar mereka hanya untuk merebutkan sumber mata air.

Tidak ada komentar: